Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terus meningkat menjadi salah satu alasan yang mendorong Komisi VIII DPR RI mengebut pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Pemahaman keagamaan sejak dini harus diperkuat untuk mengurangi tingginya tingkat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Jawa Timur. Sebab, salah satu penyebab kekerasan seksual adalah salah pergaulan.
Kebebasan penggunaan gadget dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan. Banyak anak remaja usia belasan tahun (SMP/SMA) yang dengan mudah mengakses media sosial atau situs tertentu.
Hasil survey Kementerian KPPPA dan BPS menunjukkan dari 9.000 sampel rumah tangga, terdapat 1.017 perempuan dan anak mengalami kekerasan seksual.
Pengesahan RUU PKS ini diharapkan menjadi jalan keluar terbaik dari masalah kekerasan seksual yang terjadi.
Munculnya RUU PKS bermula karena banyak masukan kepada anggota DPR terutama di Komisi VIII menyangkut kegelisahan masyarakat tentang kekerasan seksual yang sulit melakukan pembuktian di pengadilan.
RUU PKS dan KUHP diharapkan bisa saling melengkapi. Sehingga, dapat memberi kepastian hukum terhadap korban tindak kekerasan dan pelecehan seksual.
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan RKUHP dinilai dapat berpotensi tabrakan atau tumpang tindih. Sebab, dalam RKHUP sendiri telah diatur secara umum dalam berbagai perspektif.
Aliansi Indonesia Cinta Keluarga (AILA) konsisten menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) karena memuat pasal bermasalah dan kontroversial
Terkait RUU PKS, Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid gembira atas ditundanya pengesahan RUU tersebut. Menurut dia, keputusan DPR tersebut merupakan keputusan yang bijak.